Ad Code

Responsive Advertisement

Komponen Imajinasi Dalam Kurikulum Nasional

Kurikulum sekolah dirancang agar pelaksanaan pendidikan di sekolah bisa diselenggarakan sesuai dengan target yang ingin dicapai. Kurikulum diharapkan akan menghasilkan anak didik yang cerdas. Ukuran kecerdasan (intelligence) anak didik akan dinilai berdasarkan kemampuannya di dalam penguasaan ilmu (ilmu alam, ilmu pasti, ilmu sosial, bahasa dsb.). Akibatnya, kurikulum akan ditafsirkan oleh pihak sekolah (guru) melalui pemberian penekanan pada penyampaian ilmu pengetahuan (knowledge) di dalam kelas.

Komponen lain yang lebih penting dari ilmu pengetahuan akan dengan mudah terabaikan oleh aktifitas sekolah yang seperti itu. Komponen itu bernama imajinasi (imagination).

Komponen ini tidak tergarap dengan baik oleh pihak sekolah  karena memang sekolah (atau Diknas) tidak akan menguji kemampuan imajinasi para siswa. Yang akan diuji hanyalah penguasaan ilmu pengetahuan oleh siswa. Ini memberikan isyarat bagi guru untuk segera bisa menyimpulkan bahwa komponen imajinasi dalam pendidikan sebagai hal yang tidak teramat penting, yang penting adalah ilmu pengetahuan.

Padahal imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan, seperti kata Albert Einstein: Imagination is more important than knowledge. Bahkan Einstein menempatkan diri layaknya seorang pelukis yang sedang melukis bebas mengandalkan imajinasinya ketika menghasilkan karya-karyanya yang hebat di bidang fisika. Ini disimpulkan dari ucapannya yang mendahului kutipan di atas: I am enough of an artist to draw freely upon my imagination (The Saturday Evening Post, Indianapolis, Indiana, edisi 26 Oktober 1929, halaman 117, kolom 1).


Kenapa imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan? Einstein lebih lanjut menerangkan bahwa ilmu pengatahuan terbatas pada apa yang sudah kita ketahui dan pahami sekarang ini, sedangkan imajinasi merangkul seluruh isi dunia dan mencakup semua yang belum dan akan diketahui serta dipahami. Jadi imajinasi tidak dibatasi oleh apa yang sekarang sudah kita ketahui dan pahami saja.

Inilah kutipan selengkapnya ucapan Albert Einstein:

“I am enough of an artist to draw freely upon my imagination. Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know and understand.”


Apa yang belum diketahui dan dipahami melalui ilmu pengetahuan mutakhir, bibitnya telah tersemai  dengan aman dalam imajinasi. Imajinasi ini kelak merupakan sumber pengembangan ilmu pengetahuan. It is, strictly speaking, a real factor in scientific research(masih kata Einstein).

Sebagai contoh, kelahiran teori relativitas Einstein lebih banyak disumbang oleh kemampuan berimajinasi sang Einstein dari pada oleh ilmu pengetahuan yang sudah ada pada saat itu. Itulah kedahsyatan imajinasi. Sesuatu yang telah kita abaikan dengan sengaja di dalam kurikulum nasional.

Kemampuan seseorang untuk berimajinasi merupakan bekal yang baik baginya untuk berkreasi menghasilkan hal-hal baru. Hal-hal baru disini meliputi pula penciptaan atau kreasi produk baru dalam dunia usaha. Ini sesuatu yang bermanfaat baginya dan bermanfaat pula bagi masyarakat.  Ini pula sumber pertumbuhan ekonomi di dunia modern sekarang.

Kini, sebagian besar pembentukan lapangan kerja baru di Amerika dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan baru yang inovatif, bukan oleh perusahaan besar yang sudah mapan. Perusahaan baru ini lebih mengandalkan kreatifitas dalam produksi barang baru yang tidak pernah dihasilkan oleh perusahaan yang sudah mapan. Kreatifitas ini merupakan buah dari sintesa pengembangan imajinasi yang memadai dengan ilmu pengetahuan yang tersedia.  For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution (masih kata Einstein).

Dari sini terlihat bahwa komponen imajinasi akan memegang peranan yang lebih penting dari ilmu pengetahuan setelah siswa  menamatkan sekolahnya. Mungkin ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sekolah tidak akan menolong banyak bagi kemampuan survival-nya dalam menempuh kehidupan. Namun kemampuan berimajinasilah yang selalu akan mendampinginya dalam perjalanan hidup ini. Ia bebas mengantarmu berkelana kemana saja. Ungkapan bahwa ilmu pengetahuan bersifat terbatas sedangkan imajinasi bersifat tidak terbatas dilukiskan dengan sederhana oleh kutipan berikut: Logic will get you from A to Z; imagination will get you everywhere (masih kata Einstein).

Kalau komponen imajinasi terasah dengan baik melalui proses penyelenggaraan aktifitas pendidikan di sekolah maka akan dihasilkan manusia yang penuh dengan ide baru yang belum diketahui dan dipahami sebelumnya.

Bagaimana mengajarkan pengembangan imajinasi di sekolah?

Mungkin bisa dimulai dari Bahasa Indonesia (dan juga bahasa lainnya yang diajarkan). Materi pengajaran Bahasa Indonesia perlu lebih menekankan pada pengenalan proses penciptaan karya sastra (terutama untuk sekolah menengah). Inilah bahan mentah buat siswa memasuki alam imajinasi. Mungkin pula ini cara termudah. Kegiatan yang terkait dengan itu antara lain: mengarang, membaca novel (cerpen, puisi), meresensi novel (cerpen, puisi), pementasan teater, story telling, pretending (role-playing), show-and-tell, dsb.

Pelajaran kesenian juga bisa membantu pengembangan imajinasi siswa melalui lukisan, musik, nyanyian, tarian, deklamasi, pementasan drama, drumband, kerajinan tangan, desain tekstil dsb. Dalam beberapa hal pelajaran IT bisa membantu pengembangan imajinasi seperti animasi, pembuatan games,  web design, blog design, dsb.

Selama ini terkesan Bahasa Indonesia dan Kesenian diberikan di sekolah seadanya saja. Kedua pelajaran ini belum diolah denganresources yang memadai sebagai sumber utama pengembangan imajinasi siswa. Berapa kali kita mendengar bahwa siswa kita mempunyai prestasi yang sangat rendah di banding negara lain di dalam jumlah buku sastra yang dibaca selama sekolah? Inilah gambaran arah pendidikan kita yang tidak menekankan pentingnya peranan imajinasi.

Titik berat kurikulum masih di sekitar penyampaian ilmu pengetahuan, bukan pengembangan imajinasi. Komponen imajinasi tidak masuk dalam pertimbangan pengajaran Bahasa Indonesia (dan bahasa lainnya).

Di kurikulum 2013, bahasa ditempatkan sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain (lihat penjelasan Menteri Diknas diinternet). Artinya bahasa ditempatkan sekedar sebagai pedamping atau penunjang bagi penyampaian ilmu pengetahuan. Ini terbalik, seharusnya bahasa ditaruh sebagai hal yang utama sedangkan ilmu pengetahuan ditaruh sebagai penunjang pengajaran bahasa agar imajinasi siswa bisa lebih berkembang.

Mungkinkah suatu ketika kurikulum kita akan memberikan gambaran yang akan segera disimpulan oleh sekolah (guru) bahwa pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesenian adalah pelajaran yang sangat penting (malah yang utama)? Apa ini harapan yang berlebihan?

Pelajaran inilah yang secara langsung mempunyai potensi untuk membekali anak didik dengan kemampuan berimajinasi yang memadai. Bekal ini akan mengantarkan para siswa memasuki gerbang kehidupan di masyarakat dengan lebih baik dibanding bekal ilmu pengetahuan.

Kenapa demikian?

Betapa mudah bekal ilmu pengetahuan akan terlupakan dalam perjalanan hidup. Namun bekal kemampuan berimajinasi ini akan melekat selamanya dalam diri manusia. Itulah intisari pendidikan, apa yang tertinggal dan  melekat selamanya dalam diri manusia setelah ia selesai sekolah. Education is what remains after one has forgotten what one has learned in school (masih kata Einstein).

Lantas, apa ilmu pengetahuan tiba-tiba menjadi tidak penting dalam suatu kurikulum? Tentu saja tidak begitu kesimpulannya. Ilmu pengetahuan pun mempunyai potensi untuk memperkaya imajinasi sang siswa asalkan ia sebelumnya telah memperoleh pendidikan yang memadai dalam pengembangan imajinasi. Sepanjang kompenen imajinasi menduduki tempat yang utama maka materi ilmu pengetahuan di dalam suatu kurikulum akan menjadi lebih bermakna di kepala para siswa. Kunci utama terletak di imajinasi, baru setelah itu ilmu pengetahuan.

The true sign of intelligence is not knowledge but imagination (masih kata Einstein).
(from: http://www.kompasiana.com/msyamsuddin/)

Post a Comment

1 Comments